Senin, 21 Mei 2012

Kopi Pancong

KOPI PANCONG

Cong... cong... cong Kopi Pancong, tak beduet kopiku pancong...
Cong... cong... cong Kopi Pancong, mau iret kopinye pancong..

Itulah sepenggalan lirik dalam lagu yang sangat populer dikota Pontianak, lagu dengan judul Kopi Pancong ini mengangkat sebuah kebiasaan kalau tidak mau disebut tradisi dari sebuah masyarakat yang membangun wilayah ini sejak 240 tahun yang lalu. Aek Kopi, kuliner yang menjadi pemikat hari-hari di kota sebelah barat Kalimantan. Pemenuhan selera atas kebutuhan dahaga tak terlupakan.

Kopi Pancong, istilah ini dulunya sangat populer bagi masyarakat yang beraktivitas sehari-hari di pasar tradisional yang letaknya di jantung kota ini. Embun belum lama mengering, ketika para kuli-kuli yang bekerja memasuki sebuah kedai atau warung untuk menikmati jajanan pasar serta secangkir kopi tentunya. Memesan segelas kopi di warung-warung pada pasar tradisional, berarti kita memesan segelas kopi yang mana bubuk minuman tersebut telah tersaring pada proses pembuatan pertama kali, kecuali yang kita pesan adalah kopi bubuk, maka pelayan akan memberikan kita segelas kopi lengkap dengan bubuknya, tentu hal ini berbeda dengan kota-kota lain khususnya di Pulau Jawa.

Pada lirik lagu diatas, sangat jelas sekali bahwa penikmat kopi pancong merupakan golongan kelas menengah kebawah, di eropa lebih dikenal dengan masyarakat proletar, buruh-buruh pabrik yang bekerja pada Industrialisasi negara-negara maju di abad-abad ke 18. Kaum proletar di kota ini merupakan kaum yang bekerja pada bidang-bidang swasta, mulai dari pedagang kecil sampai pada buruh perusahaan kayu atau sawmil yang banyak tersebar di pinggiran kota pontianak. Golongan inilah yang memiliki domain atas popularitas Kopi Pancong.

Pancong adalah istilah masyarakat setempat untuk menyebut nama lain dari memenggal. Jika digabungkan maka Kopi Pancong merupakan Kopi setengah gelas dari biasanya. Tidak hanya berlatar ekonomi, Kopi Pancong juga menjadi solusi alternatif atas Kepercayaan masyarakat terhadap datangnya Kemponan. Istilah yang satu ini sangat dikenal dikalangan masyarakat setempat. Kemponan merupakan kepercayaan akan datangnya bala jika seseorang yang ditawari minuman atau makanan dengan terang-terangan menolak tawaran tersebut. Biasanya untuk menghindari kemponan tersebut, suka atau tidak, seseorang harus mencicipi sedikit tawaran yang dimaksud, entah itu nasi atau kopi. Kepercayaan ini mendorong akan budaya silaturahmi untuk semakin ditingkatkan. Berangkat dari hal tersebut, maka tidaklah heran jika seorang teman di warung kopi akan menunda kepergiannya tatkala ditawari untuk mencicipi segelas kopi. Kebiasaan unik yang menurut kalangan Ekspatriat dapat mengurangi efisiensi waktu dalam berproduktivitas.

Melihat kebelakang, Kopi merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan di Nusantara sejak beberapa abad yang lalu. Biji Kopi juga menjadi salah satu primadona Kerajaan Belanda untuk memeras peluh para petani agar tetap menanam dan memproduksi kopi terbaik di dunia dan mengalirkan pundi-pundi Gulden ke Kocek para bangsawan di negeri kincir angin tersebut. Selanjutnya, minuman ini menjadi salah satu kebiasaan kaum inlander untuk sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja.

Meminum Kopi bagi masyarakat Nusantara, seperti meminum secangkir teh bagi tiongkok, wine bagi Perancis atau vodka bagi Rusia. Walaupun para ahli medis terus mengingatkan pasiennya untuk mengurangi Konsumsi minum Kopi, tapi tetap saja kebiasaan ini berlangsung turun temurun. Bagi sebagaian Kalangan, mengonsumsi satu atau dua gelas kopi dalam sehari bukan lagi menjadi hal yang baru, bahkan telah menjadi kebiasaan yang terlestarikan.

Di pesisir Barat Kalimantan, warung-warung kopi dapat dengan mudah ditemui. Tidak ada aturan yang tegas dibuat oleh Pemilik warung dalam memilih konsumen. Maka tak heran, jika kita beruntung bisa melihat seorang Pejabat Bupati atau Gubernur duduk di warung kopi langganannya. Bukan untuk mencari popularitas, namun lebih kepada keinginan untuk mencicipi tetes demi tetes dari secangkir kopi kesukaannya.

Lagi, Kopi Pancong tidak hanya mengandalkan latar ekonomi. Tapi jauh dibalik itu, sebuah ideologi telah berkembang dalam segelas minuman ini. Ideologi yang membebaskan rasa ketakutan untuk bertemu orang banyak. Ideologi yang mendorong akan kebebasan setiap individu untuk bisa menguasai satu meja tanpa bisa menguasai meja yang lain. Ideologi yang mengaburkan batas-batas keyakinan pada Tuhan antara kursi satu dengan yang lainnya pada sebuah meja di pojok warung. Ideologi yang mendorong silaturahmi antara pemuda inlander dan pemuda pesisir. Ideologi yang menghapus batas antara Bapak pejabat yang terhormat dengan rakyat jelata pengguna arloji bekarat. Ideologi yang diwariskan antara Bapak kepada Anak tanpa harus melaluinya di bangku-bangku sekolah filsafat. Ideologi yang mempopulerkan banyak produk, salah satunya adalah facebook ciptaan Mark Zuckerberg kepada generasi yang dulunya malang melintang di dunia Citizen Band.

Disinilah kekuatan dari segelas Kopi Pancong, proses transformasi ilmu dan pengetahuan dilakukan dibawah tekanan kemponan. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak mengerti menjadi mengerti. Dari awam menjadi paham. Dan pada meja lain di warung tersebut, beberapa diantaranya berhasil membeli satu atau dua kapling tanah murah yang menurut rencananya kawasan tersebut akan menjadi kota satelite atau penopang bagi kawasan lainnya, lumayan buat investasi dimasa depan.

Menemani segelas kopi pancong hari ini tak lagi dengan rokok kretek tanpa filter, hembusan asap dari mulut seorang penikmat kopi semakin membuat suasana warung semakin menggeliat. Harum dari sebatang rokok para cowboy pun dapat terasa disela-sela kegilaan menikmati tetesan kopi pancong. Dan tidak lagi kopi pancong disandingkan dengan kertas-kertas bekas bungkus rokok yang berisi coretan nomor-nomor cantik hasil mimpi janda tetangga sebelah yang sintal, namun hari ini cangkir itu ditemani karya terakhir dari Steven Jobs yang berupa perangkat elektronik bersegi dan memiliki fitur yang mampu memenuhi kebutuhan akan informasi masyarakat global.

Tapi Kopi Pancong tetaplah sederhana, sebagaimana bentuknya yang tak pernah berubah sejak kakek mengenal nenek dalam sebuah ta’aruf ala kadarnya lebih dari setengah abad yang lalu. Masih dengan gelas keramik ukiran seniman Tiongkok. Atau gelas kaca entah apa mereknya, namun rasa dan nikmatnya tak pernah surut ditelan zaman. Kata babe dulu, toke yang melayani mereka di masa Koes Plus sedang jaya-jayanya tak pernah berubah tampilannya. Masih seperti Bruce Lee, hanya kini badannya telah berisi dan hari-harinya dilalui dengan membaca koran saja, sama seperti para Godfather di dunia Mafioso ketika mereka telah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Anak lelakinya.

Kopi Pancong, umumnya merupakan warisan kebiasaan yang diturunkan dari Ayah kepada Anak Lelakinya. Suka tidak suka, inilah yang membuat kopi pancong tetap digemari. Kebiasaan pada minggu-minggu pagi anak laki-laki menemani ayahnya ke warung kopi. Sebagaimana doktrin yang disampaikan guru TK kepada muridnya melalui lagu anak-anak yang liriknya berkata “Pada hari minggu ku turut ayah ke kota, naik delman Istimewa dimuka”. Di tambah lagi dengan perjanjian tak tertulis guru SD yang selalu mengajarkan bahwa “Budi membantu Ayah di Kebun, Ani membantu Ibu di Dapur. Maka tak heran, Kopi Pancong menjadi icon dari kebiasaan kaum laki-laki diluar rumah. Kebiasaan yang cenderung menghalalkan pandangan diskriminatif terhadap kaum perempuan di warung kopi. Inilah yang menjadi pembatas jelas atas alasan yang dipercaya sebagai takdir. Tuntutan pendidikan dan Karir yang diperjuangkan oleh RA. Kartini satu abad yang lalu telah berhasil membawa kaum perempuan untuk sederajat dengan laki-laki dalam semua bidang, namun hal itu belum berhasil membawa kederajatan itu diatas kursi-kursi plastik di warung kopi.

Inilah yang membuat Kopi Pancong semakin unik, seperti kita menikmati tetesan dalam tegukan yang belum juga usai. Ingin menambah segelas lagi, tapi waktunya untuk segera pulang. Tidak ingin seperti Bang Toyib yang tidak pulang-pulang, akhirnya sang istri pun menyusul dan ingin meradang, tapi apa daya alamat palsu yang dipegang, entah kemana lagi mencari abang yang tersayang.

Tetesan kopi pancong pun berakhir dengan sukses, sebatang rokok lagi akan menemani dalam perjalanan pulang, sebuah doa pun dipanjatkan, semoga rakyat Libya dapat hidup sejahtera setelah tewasnya diktator dan revolusioner yang telah lama berkuasa, selamat jalan Raja Di Raja Afrika, semoga dikehidupan kelak, namamu abadi dikenang sepanjang sejarah generasi bangsamu. Amin.
(Penulis adalah seorang Blogger Yang Cinta Tanah Air dan Bangsanya)